Tidak jauh dari Kasongan, terdapat sebuah wilayah yang memiliki potensi untuk dijadikan kawasan wisata yaitu wilayah Ngrompang yang berada di Pedukuhan Banyon. Pedukuhan Banyon merupakan salah satu wilayah yang terletak di Desa Pendowoharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul. Pedukuhan Banyon merupakan salah satu dari tujuh belas pedukuhan yang berlokasi di Pendowoharjo dan uniknya, pedukuhan ini memiliki jumlah Rukun Tetangga (RT) terbanyak di antara semua pedukuhan bahkan di seluruh provinsi DIY, yaitu berjumlah tujuh belas RT..
Tapi TAHUKAH ANDA? bahwa Banyon memiliki peran yang penting dalam sejarah Bantul?
Kisah Banyon dimulai setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Pada saat itu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta di bawah Hamengkubuwono IX melakukan perombakan birokrasi lokal. Perubahan ini meliputi daerah-daerah luar kota mulai dari tingkat kabupaten hingga desa yang merupakan unit terendah dalam satuan pemerintahan (Selo, 1981 : 77). Salah satu dari wacana tersebut adalah penggabungan beberapa daerah menjadi satu wilayah yang terorganisir. Tujuan dari penggabungan ini adalah agar sistem swasembada dan penyejahteraan penduduk desa dapat disalurkan dengan baik, cepat, dan efektif. Wacana ini kemudian direalisasikan pada tahun 1946, ketika pemerintahan memerintahkan penggabungan desa-desa di lima kabupaten, yaitu Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Adikarto [1][2].
Di daerah Bantul, jumlah desa sebelum penggabungan berjumlah 195 desa. Ketika penggabungan dilakukan, jumlahnya menyusut menjadi 60 desa atau sekitar 31 persen dari persentase awal. Pada tanggal 26 Desember 1946, Kelurahan Pendowoharjo resmi dibentuk di Kabupaten Bantul. Sebelum pembentukan, kelurahan ini terdiri atas lima Kring (kelurahan kecil), yaitu Pendowo, Karanggede, Bandung, Krantil, dan Ngrungkem. Kelima kring ini kemudian bersatu menjadi sebuah satu kelurahan agar bisa dikelola secara teratur dan efisien.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, pertempuran melawan penjajah Belanda masih belum selesai. Selama hampir lima tahun, dari 1945 hingga 1949, perlawanan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan mereka telah dilakukan di penjuru daerah Indonesia. Daerah Yogyakarta adalah salah satu daerah yang juga mengalami hal tersebut. Puncak dari perlawanan rakyat Yogyakarta adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Aksi serangan ini berupa penyergapan dan pemutusan akses militer Belanda secara bergerilya yang dilakukan di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya seperti Bantul dan Wates.
Perlu diketahui selain kekuatan militer dan persenjataan, masyarakat dan desa juga memiliki andil yang penting dalam pertahanan militer. Barisan gerilya tidak akan bisa berhasil apabila masyarakat sekitar tidak membantu perjuangan mereka. Saat Soeharto beserta pasukannya, Wehrkreise III melakukan gerilya, Ia menggunakan wilayah tiga pedesaan Bantul sebagai basis mereka. Ketiga desa itu adalah Ngoto, Segoroyoso, dan Bibis (Julianto, 2020 : 108). Selama Soeharto bermarkas, rakyat pedesaan membantu mereka dengan memfasilitasi pergerakan mereka, mulai dari tempat menginap dan penyediaan makanan. Pengadaan kamar pasukan seringkali berada di rumah milik dukuh setempat yang juga berfungsi sebagai tempat perencanaan strategi perang. Sedangkan, logistik pangan disediakan oleh warga melalui dapur umum. Baik pria maupun wanita aktif dalam peran mereka masing-masing; kaum pria menyediakan alat dan bahan makanan, sedangkan kaum wanita menjadi juru masak makanan yang terdiri atas nasi, lauk, dan sayuran (Julianto, 2020 : 111).
Saat Soeharto datang ke markas terakhir di Bibis, rakyat segera mempersiapkan kehadiran mereka. Salah satu upayanya adalah pendirian dapur umum di sekitar markas. Gunung Ngrompang yang terletak di daerah Banyon ternyata digunakan sebagai dapur umum untuk pasukan milik Soeharto. Dapur ini diusahakan oleh penduduk Ngrompang sendiri. Beberapa dari mereka bertugas sebagai juru masak dan pengirim pasokan makanan bagi pasukan Soeharto yang saat itu berada di Dusun Bibis, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Jarak antara lokasi dapur dengan lokasi persembunyian berjarak sekitar 3 km, tetapi warga Ngrompang tetap ikhlas melakukan hal ini demi mempertahankan kedaulatan mereka sebagai negara merdeka.
Setelah pertempuran panjang berakhir akibat pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda di Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949, Daerah Banyon mulai bangkit kembali. Warga-warga kembali melanjutkan aktivitas mereka sebagai petani dan peternak. Tetapi, munculah mata pencaharian lain yang juga sama pentingnya bagi keberlangsungan ekonomi Banyon, yaitu pengrajin kriya. Sebagai daerah yang dekat dengan sentra kerajinan Kasongan yang tersohor, daerah Banyon mendapatkan dampak besar dalam industri seni. Beberapa home industry didirikan oleh warga Banyon yang meliputi kipas, gerabah, dan patung. Beberapa rumah industri tersebut menghasilkan benda kriya dengan kualitas tinggi. Bahkan, sebagian dari mereka mampu menjual produk dalam cakupan pasar yang lebih luas, seperti pasar domestik dan internasional.
Salah satu daerah yang menunjukkan perkembangan akan industri ini adalah Ngrompang yang dulunya merupakan dapur umum pasukan Wehrkreise III. Ngrompang memang termasuk daerah tandus bertanah kapur putih karena terletak di pegunungan Ngrompang, persisnya berada di barat laut desa wisata Kasongan, yang terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Pada awalnya, Ngrompang merupakan daerah yang sepi. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa nama “Ngrompang” berasal dari kata “rompak” yang berarti perampok. Kondisinya yang jauh dari keramaian digunakan oleh para pencuri sebagai tempat persembunyian mereka. Selain sebagai sarang penyamun, infrastruktur desa pada saat itu juga masih belum memadai. Sebagai contoh, jalan utama Ngrompang susah diakses karena kondisinya yang berbatu dan licin bila basah. Untungnya, dengan konsolidasi antara pemerintahan dan warga sekitar, daerah ini mulai diperbaiki dengan baik. Perkumpulan perampok berhasil dibasmi, dan sarana infrastruktur desa dibangun atau diperbaiki.
Perkembangan Kerajinan di Ngrompang, Banyon
Daerah Banyon mulai berkembang sebagai salah satu daerah penyangga industri kerajinan sekitarnya seperti Daerah Kasongan dan Daerah Jipangan. Akibatnya, beberapa perusahaan berbasis home-industry muncul di daerah pedukuhan. Di daerah Banyon sebelah timur, contohnya, dapat ditemui industri-industri pengrajin kipas. Banyak warga daerah ini memiliki industri kipas mereka. Mereka lebih cenderung bergerak sendiri dibandingkan bekerja sama melalui paguyuban. Walaupun begitu, hasil kriya dari daerah ini sudah dijual bahkan di pasar mancanegara.
Desa Ngrompang juga tidak kalah dalam pengembangan industri seni. Yang paling mencolok di desa ini adalah industri gerabah yang serupa dengan yang ada di Kasongan. Di desa ini, hanya ada dua industri gerabah yang berlokasi di sini, yaitu industri milik Bpk. Heru Siswanto dan Bpk. Somo di daerah Ngrompang. Walaupun dengan jumlah yang sedikit, keduanya sama-sama memberikan wajah baru Ngrompang dan diyakini bersifat potensial dalam memperkenalkan wilayah ini kepada masyarakat umum.
Industri gerabah pertama di daerah Ngrompang adalah industri milik Bpk. Somo atau lebih populer dikenal sebagai Mbah Somo. Sebelum pabrik ini ada, lokasi industri Mbah Somo adalah rumah orang tua beliau. Industri ini kemudian mulai dibangun pada tahun 1997 secara bertahap dan terus berkembang hingga saat ini. Gerabah yang dibuat cukup beragam. Di antaranya adalah patung, guci, pot, dan lain sebagainya. Selain pembuatan gerabah, beliau juga menggeluti bisnis pertokoan. Ia memiliki toko di Jalan Raya Kasongan yang bernama Aru Ceramics. Toko ini secara khusus menjual hasil produksi gerabahnya.
Dekat dengan tempat pembentukan gerabah, terdapat sebuah restoran bernama Waroeng PaTEHan. Didirikan pada tahun 2013, restoran ini menyajikan makanan-makanan tradisional yang terkesan nyentrik namun lezat dinikmati. Pelanggan dapat memanjakan diri sembari menikmati alam di tepi Sungai Bedog. Selain restoran, ada pula homestay yang digunakan sebagai tempat singgah wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Bisnis Mbah Somo tidak terpaku di Ngrompang saja. Beliau juga mengontrak lahan di Kasongan yang kemudian dibangun toko Aru Ceramics. Toko ini khusus menjual gerabah hasil produksinya.
Industri kedua yang juga populer adalah industri milik Bpk. Heru Siswanto bernama Heroe Ceramics. Beliau adalah seorang seniman lulusan ISI yang berorientasi di daerah Banyon, Bantul. Bpk. Heru pertama kali tinggal di daerah Ngrompang setelah pernikahannya di tahun 2010 hingga 2011. Mulanya, tempat tinggalnya hanya berupa studio pembuatan patung. Seiring berjalannya waktu, tempat produksinya kian berkembang dan mulai dikenal secara luas. Banyak orang-orang dari luar daerah kemudian memesan patung kepada beliau untuk berbagai keperluan. Beberapa karyanya yang tersohor antara lain patung Jenderal Soedirman dan Pangeran Diponegoro di Gerbang Kota Bantul, Seribu Penari Gandrung di Taman Gandrung Banyuwangi, dan Monumen Baturaden di Banyumas.
Selain industri patung, beliau juga memiliki dua lokasi yang berkaitan dengan seni. Pertama adalah Jomblang Kemuning. Tempat ini merupakan artspace yang sering menaungi pagelaran seni. Didirikan pada tahun 2019, Jomblang Kemuning, atau Joning telah mengadakan pameran tahunan yang dimeriahkan oleh seniman lokal dan mahasiswa ISI. Lokasi yang kedua adalah Bukit Ngrompang atau Ngrompang Hill. Bukit ini terletak dekat dari rumah Bpk. Heru, yaitu sekitar 50 meter. Bukit ini menyajikan pemandangan langit daerah Banyon dan sekitarnya. Pengunjung disarankan untuk datang pada pagi/sore hari agar bisa menikmati keindahan matahari terbit/terbenam.
Sebagai seorang seniman, Bpk. Heru juga berusaha melanjutkan pengembangan seni bagi warga luar daerah. Beliau menyediakan pengajaran gerabah bagi siapapun yang tertarik. Di tahun 2016 contohnya, beliau kedatangan mahasiswa asing yang berkunjung untuk mempelajari budaya lokal Yogyakarta. Selain itu, ada pula kunjungan dari TK dan SD yang diisi oleh anak-anak. Kunjungan ini sekaligus menjadi sarana beliau untuk mengajarkan bagaimana seni gerabah itu dibuat dan dilukis.
Baik industri Mbah Somo dan Bpk. Heru memiliki keunikannya tersendiri. Walaupun begitu, keduanya memiliki beberapa kemiripan. Salah satunya adalah perubahan material bahan produksi yang dilakukan pada akhir-akhir ini. Melalui observasi yang dilakukan, keduanya kini lebih berorientasi dalam pembuatan gerabah berbahan GRC. Menurut mereka, GRC lebihmudah untuk direproduksi dan kualitasnya lebih mumpuni daripada terakota. Akibatnya, keduanya kini lebih berorientasi membuat gerabah berbahan GRC dibandingkan dengan terakota seperti yang umumnya ditemukan di Kasongan.
Di samping industri berbasis kerajinan tangan, warga sekitar juga memikirkan stimulan desa lainnya. Melihat munculnya desa-desa wisata di sekitar Bantul, terlebih dengan peran sejarah yang besar dalam perjuangan Indonesia, masyarakat Ngrompang akhirnya memutuskan untuk menjadikan daerah Ngrompang sebagai desa wisata. Hal ini dilakukan demi melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah menjadi salah satu pola kehidupan dari desa ini. Hingga saat ini, warga terus bersikeras agar tujuan ini bisa tercapai. Dengan usaha penduduk Ngrompang untuk mengubah daerah mereka menjadi desa wisata, daerah ini----beserta Banyon, dapat diharapkan menjadi sentra kultural yang menghadirkan potensi wisata oleh penduduk desa sendiri.
Referensi :
Administrator. (2014). Sejarah Desa Pendowoharjo. https://pendowoharjo.bantulkab.go.id/first/artikel/57
Julianto Ibrahim. (2020). Revolusi di Selatan Yogyakarta : Bantul pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949). Masyarakat Pedesaan dan Revolusi Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selo Soemardjan. (1981). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Catatan :
[1] Kabupaten Adikarto adalah kabupaten milik praja Pakualaman yang berlokasi di pesisir Laut Selatan Kulon Progo saat ini. Kabupaten ini digabungkan bersama Kabupaten Gunung Kidul pada tanggal 15 Oktober 1951 atas perintah Sri Sultan HB IX dan Pangeran Paku Alam.
[2] Penjumlahan data tahun ini tidak meliputi Kota Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Yogyakarta sebagai kota otonomi baru terbentuk pada tahun 1947. Saat itu, sebagian wilayah kota Yogyakarta saat ini dulunya adalah bagian dari kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Di tahun selanjutnya, Kota Yogyakarta ditetapkan sebagai daerah tingkat II, sedangkan daerah kabupaten sebagai kesatuan provinsi DIY adalah daerah tingkat I.
Comments